RSS Subscription

Subscribe via RSS reader:
Subscribe via Email Address:
 
Tampilkan postingan dengan label Prinsip-Prinsip Dasar Keimanan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Prinsip-Prinsip Dasar Keimanan. Tampilkan semua postingan

AGAMA ISLAM

Posted By Taufik Hidayat On 05.35 0 komentar

Agama Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallaahu Alaihi Wa Salam. Dengan Islam Allah mengakhiri serta menyempurnakan agama-agama lain untuk para hamba-Nya. Dengan Islam pula, Allah menyempur-nakan kenikmatan-Nya dan meridhai Islam sebagai dien-Nya. Oleh karena itu tidak ada lain yang patut diterima, selain Islam.

Allah Subhannahu Wa Ta'ala berfirman :

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi…” (Al Ahzab: 40).

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (Al Maidah: 3).

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam.” (Al Imran: 19).


“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripada-nya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Al Imran 85)

Allah Subhannahu wa Ta'ala telah mewajibkan seluruh umat manusia agar memeluk agama Islam karena Allah. Hal ini sebagaimana telah difirmankan-Nya kepada Rasul-Nya:

“Katakanlah, Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah Yang mem-punyai kerajaan langit dan bumi. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk”.” (Al A’raf: 158).

Dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu dikatakan bahwa Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam bersabda:

وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ اْلأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ.

“Demi Tuhan yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidak seorang pun dari umat ini, baik orang Yahudi maupun Nasrani, yang mendengar tentang aku, kemudian mati dalam kondisi tidak beriman terhadap sesuatu yang aku diutus karenanya kecuali dia termasuk penghuni Neraka.” (HR. Muslim).

Mengimani Nabi SAW artinya, membenarkan dengan penuh penerimaan dan kepatuhan terhadap segala yang dibawanya, bukan hanya membenarkan semata. Oleh karena itulah Abu Thalib (paman Nabi ) dikatakan bukan orang yang mengimani Nabi , walaupun ia membenarkan apa yang dibawa oleh keponakannya itu dan dia juga mengakui bahwa Islam adalah agama terbaik.

Agama Islam mencakup seluruh kemaslahatan yang dikandung oleh agama-agama terdahulu. Islam mem-punyai keistimewaan, yaitu relevan untuk setiap masa, tempat, dan umat.

Allah Ta'ala berfirman kepada Rasul-Nya:

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelum-nya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu…” (Al Maidah: 48).

Islam dikatakan relevan untuk setiap masa, tempat dan umat, maksudnya adalah bahwa berpegang teguh pada Islam tidak akan menghilangkan kemaslahatan umat di setiap waktu dan tempat. Bahkan dengan Islam, umat akan menjadi baik. Tetapi bukan berarti Islam tunduk pada waktu, tempat dan umat, seperti yang dikehendaki sebagian orang.
Agama Islam adalah agama yang benar. Allah men-jamin kemenangan kepada orang yang memegangnya dengan baik. Hal ini disebutkan-Nya dalam firman-Nya,

“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan mem-bawa) petunjuk (Al Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.” (At Taubah 33)

“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang ber-iman di antara kamu dan mengerjakan amalan-amalan yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan Aku. Barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (An Nuur: 55).


Agama Islam merupakan aqidah dan syariat. Islam adalah agama yang sempurna dalam aqidah dan syariat, karena:
1.Memerintahkan bertauhid terhadap Allah Subhannahu wa Ta'ala dan melarang syirik.
2.Memerintahkan bersikap jujur dan melarang berbuat bohong/dusta.
3.Memerintahkan berbuat adil dan melarang perbuatan lalim.
4.Memerintahkan untuk bersikap amanat dan melarang khianat.
5.Memerintahkan untuk menepati janji dan melarang ingkar janji.
6.Memerintahkan berbakti kepada ibu-bapak serta melarang mendurhakainya.
7.Memerintahkan bersilaturahmi/menyambung hubungan dengan kerabat dekat, serta melarang memutuskannya.
8.Memerintahkan berbuat baik dengan tetangga melarang berbuat jahat kepada mereka.
Secara umum Islam memerintahkan agar bermoral baik dan melarang bermoral buruk. Islam juga memerin-tahkan setiap perbuatan baik, dan melarang perbuatan yang buruk.
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman,

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (An Nahl 90)

RUKUN ISLAM

Posted By Taufik Hidayat On 05.34 0 komentar

Islam didirikan atas lima dasar, sebagaimana yang tersebut dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radhiallaahu anhu :

بُنِيَ اْلإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ؛ شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ وَإِيْتَاءِ الزَّكَاةِ وَصِيَامِ رَمَضَانَ وَالْحَجِّ.

“Islam didirikan atas lima dasar, yakni: (1) Bersaksi bahwa Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah, dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya; (2) mendirikan shalat; (3) mengeluarkan zakat; (4) puasa Ramadhan; dan (5) beribadah haji.” (HR. Al Bukhari dan Muslim).


1.Kesaksian Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah hamba serta rasul-Nya merupakan keyakinan yang mantap, yang diekspresikan dengan lisan. Dengan kemantapannya itu seakan-akan dapat menyaksikan-Nya.
Syahadah (kesaksian) merupakan satu rukun pada-hal yang dipersaksikan itu ada dua hal, ini dikarenakan Rasul Shalallaahu alaihi wasalam adalah mubaligh (penyampai) sesuatu dari Allah Subhannahu wa Ta'ala . Jadi, kesaksian bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah merupakan kesempurnaan kesaksian: “Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah.”

Atau, karena kesaksian (syahadatain) itu merupakan dasar sah dan diterimanya semua amal. Amal tidak sah dan tidak akan diterima bila tidak dilakukan dengan keikhlasan terhadap Allah Ta'ala dan dengan tidak mengikuti manhaj Rasul-Nya Shalallaahu alaihi wasalam . Ikhlas kepada Allah terealisasi pada kesaksian “Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah.” Mengikuti Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam terealisasi pada kesaksian “bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”
Buah syahadat (kesaksian) yang terbesar ialah membebaskan hati dan jiwa dari penghambaan terhadap makhluk serta tidak mengikuti selain para rasul-Nya.

2.Mendirikan shalat artinya menyembah Allah dengan mengerjakan shalat secara istiqamah serta sempurna, baik waktu maupun caranya.
Salah satu buah atau hikmah shalat adalah mendapat kelapangan dada, ketenangan hati, dan menjauh-kan diri dari perbuatan keji dan mungkar.

3.Mengeluarkan zakat artinya, menyembah Allah Shalallaahu alaihi wasalam dengan menyerahkan kadar yang wajib dari harta-harta yang harus dikeluarkan zakatnya.
Salah satu buah atau hikmah mengeluarkan zakat adalah membersihkan jiwa dan moral yang buruk, yaitu kekikiran serta dapat menutupi kebutuhan Islam dan umat Islam.

4.Puasa Ramadhan, artinya menyembah Allah Subhannahu wa Ta'ala dengan cara meninggalkan hal-hal yang dapat membatalkan puasa di siang hari di bulan Ramadhan.
Salah satu hikmahnya ialah melatih jiwa untuk meninggalkan hal-hal yang disukai karena mencari ridha Allah Subhannahu Wa Ta'ala .

5.Naik haji ke Baitullah (rumah Allah), artinya menyembah Allah Subhannahu wa Ta'ala dengan menuju ke Al Baitul Haram (rumah suci) untuk mengerjakan syiar atau manasik haji.

Salah satu hikmahnya adalah melatih jiwa untuk mengerahkan segala kemampuan harta dan jiwa agar tetap taat kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala . Oleh karena itu haji merupakan salah satu macam jihad fi sabilillah.
Hikmah-hikmah rukun Islam, baik yang sudah kami sebutkan maupun yang belum kami sebutkan akan dapat menjadikan umat sebagai umat yang suci, bersih, beragama yang benar, dan memperlakukan manusia dengan penuh keadilan serta kejujuran. Kebaikan syariat-syariat Islam yang lain tergantung pada kebaikan dasar-dasar ini. Kebaikan umat pun tergantung pada kebaikan agama-nya, dan hilangnya kebaikan tingkah laku umat pun akan tergantung pada kadar hilangnya kebaikan agamanya.

Bagi yang ingin mengetahui penjelasan hal ini, sila-kan menyimak firman Allah Subhannahu wa Ta'ala ,

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu mata-hari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari adzab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari adzab Allah, kecuali orang-orang yang merugi.” (Al A’raf: 96-99).

Untuk lebih jelasnya hendaklah Anda pelajari sejarah orang-orang terdahulu kita, karena dalam sejarah terdapat pelajaran bagi orang-orang yang berakal dan bagi orang yang hatinya “bersih” (tidak ada hijab yang menutupi hatinya). Hanya kepada Allah lah kita memohon pertolongan.

PRINSIP AQIDAH ISLAM

Posted By Taufik Hidayat On 05.33 0 komentar

Agama Islam sebagaimana telah dijelaskan di muka- adalah aqidah dan syari’ah, telah disebutkan sebagian dari syariat Islam dan ditunjukkan rukun-rukunnya yang dianggap sebagai dasar bagi syari’at-syari’at Islam.
Aqidah Islam dasarnya adalah iman kepada Allah, iman kepada malaikat-Nya, iman kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada para rasul-Nya, iman kepada hari Akhir, dan iman kepada takdir yang baik dan yang buruk. Dasar-dasar ini telah ditunjukkan oleh Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya Shalallaahu alaihi wasalam .


Allah berfirman dalam kitab suci-Nya :

“Bukankah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebaktian, akan tetapi sesungguhnya kebak-tian itu ialah beriman kepada Allah, Hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi” (Al Baqarah: 177).


Dalam soal takdir, Allah berfirman :

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran, dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti sekejap mata.” (Al Qomar: 49-50).


Nabi SAW juga bersabda dalam sunnahnya sebagai jawaban terhadap malaikat Jibril ketika bertanya tentang iman:

اْلإِيْمَانُ أَنْ تُؤْمِنَ بِاللهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ.

“Iman adalah engkau mengimani Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Kemudian, dan mengimani takdir yang baik dan yang buruk.” (HR. Muslim).

IMAN KEPADA ALLAH ALLAH SWT

Posted By Taufik Hidayat On 05.32 0 komentar

Iman kepada Allah mengandung empat unsur :
1.Mengimani Wujud Allah Subhannahu wa Ta'ala
Wujud Allah telah dibuktikan oleh fitrah, akal, syara’, dan indera.
a.Bukti fitrah tentang wujud Allah adalah bahwa iman kepada sang Pencipta merupakan fitrah setiap mak-hluk, tanpa terlebih dahulu berpikir atau belajar. Tidak akan berpaling dari tuntutan fitrah ini, kecuali orang yang di dalam hatinya terdapat sesuatu yang dapat memalingkannya.
Rasulullah bersabda:

مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إِلاَّ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ.
“Semua bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Ibu bapaknyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majuzi.” (HR. Al Bukhari)

b.Adapun bukti akal tentang wujud Allah, adalah proses terjadinya semua makhluk. Bahwa semua makhluk, yang terdahulu maupun yang akan datang, pasti ada yang menciptakan. Tidak mungkin makhluk menciptakan dirinya sendiri, dan tidak mungkin pula tercipta secara kebetulan. Tidak mungkin wujud itu ada dengan sendirinya, karena segala sesuatu tidak akan dapat menciptakan dirinya sendiri. Sebelum wujudnya tampak, berarti tidak ada.

Semua makhluk tidak mungkin tercipta secara kebetulan, karena setiap yang diciptakan pasti membutuhkan pencipta. Adanya makhluk-makhluk itu di atas undang-undang yang indah, tersusun rapi, dan saling terkait dengan erat antara sebab-musababnya dan antara alam semesta satu sama lainnya. Semua itu sama sekali menolak keberadaan seluruh makhluk secara kebetulan, karena sesuatu yang ada secara kebetulan, pada awalnya pasti tidak teratur.

Kalau makhluk tidak dapat menciptakan diri sendiri, dan tidak tercipta secara kebetulan, maka jelaslah, makhluk-makhluk itu ada yang menciptakan, yaitu Allah Rabb semesta alam.
Allah Subhannahu wa Ta'ala menyebutkan dalil aqli (akal) dan dalil qath’i dalam surat Ath Thuur:

“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)?” (Ath Thuur: 35).

Dari ayat di atas tampak bahwa makhluk tidak diciptakan tanpa pencipta, dan makhluk tidak menciptakan dirinya sendiri. Jadi jelaslah, yang menciptakan makhluk adalah Allah Subhannahu wa Ta'ala .
Ketika Jubair bin Muth’im mendengar dari Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam yang tengah membaca surat Ath Thuur dan sampai kepada ayat-ayat ini:

“Apakah mereka diciptakan tanpa sesuatu pun, ataukah mereka yang menciptakan (diri mereka sendiri)? Ataukah mereka telah menciptakan langit dan bumi itu? Sebenar-nya mereka tidak meyakini (apa yang mereka katakan). Ataukah di sisi mereka ada perbendaharaan Rabbmu atau merekakah yang berkuasa?” (Ath Thuur: 35-37)

“Ia, yang tatkala itu masih musyrik berkata, “Hatiku hampir saja terbang. Itulah permulaan menetapnya keimanan dalam hatiku.” (HR. Al Bukhari).

Dalam hal ini kami ingin memberikan satu contoh. Kalau ada seseorang berkata kepada Anda tentang istana yang dibangun, yang dikelilingi kebun-kebun, dialiri sungai-sungai, dialasi oleh hamparan karpet, dan dihiasi dengan berbagai perhiasan pokok dan penyempurna, lalu orang itu mengatakan kepada Anda bahwa istana dengan segala kesempurnaannya ini tercipta dengan sendirinya, atau tercipta secara kebetulan tanpa pencipta, pasti Anda tidak akan mempercayainya, dan menganggap perkataan itu adalah perkataan dusta dan dungu. Kini kami bertanya pada Anda, masih mungkinkah alam semesta yang luas ini beserta apa-apa yang berada di dalamnya tercipta dengan sendirinya atau tercipta secara kebetulan?!

c.Bukti syara’ tentang wujud Allah Subhannahu wa Ta'ala bahwa seluruh kitab langit berbicara tentang itu. Seluruh hukum yang mengandung kemaslahatan manusia yang dibawa kitab-kitab tersebut merupakan dalil bahwa kitab-kitab itu datang dari Rabb yang Maha Bijaksana dan Mengetahui segala kemaslahatan makhluknya. Berita-berita alam semesta yang dapat disaksikan oleh realitas akan kebenarannya yang didatangkan kitab-kitab itu juga merupakan dalil atau bukti bahwa kitab-kitab itu datang dari Rabb yang Maha Kuasa untuk mewujudkan apa yang diberitakan itu.

d.Bukti indera tentang wujud Allah Ta'ala dapat dibagi menjadi dua:
i. Kita dapat mendengar dan menyaksikan terka-bulnya doa orang-orang yang berdoa serta pertolongan-Nya yang diberikan kepada orang-orang yang mendapat-kan musibah. Hal ini menunjukkan secara pasti tentang wujud Allah Subhannahu wa Ta'ala .

Allah berfirman:
“Dan (ingatlah kisah) Nuh, sebelum itu ketika dia berdoa dan Kami memperkenankan doanya, lalu Kami selamat-kan dia beserta keluarganya dari bencana yang besar.” (Al Anbiyaa 76)

“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Rabbmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguh-nya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.” (Al Anfaal: 9).

Anas bin Malik Radhiallaahu anhu berkata, “Pernah ada seorang badui datang pada hari Jum’at. Pada waktu itu Nabi n tengah berkhotbah. Lelaki itu berkata, “Hai Rasul Allah, harta benda kami telah habis, seluruh warga sudah kelaparan. Oleh karena itu mohonkanlah kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala untuk mengatasi kesulitan kami.” Rasulullah lalu mengangkat kedua tangannya dan berdoa. Tiba-tiba awan mendung bertebaran bagaikan gunung-gunung. Rasulullah belum turun dari mimbar, hujan turun membasahi jenggotnya. Pada hari Jum’at yang kedua, orang badui atau orang lain berdiri dan berkata, “Hai Rasul Allah, bangunan kami hancur dan harta benda pun tenggelam, doakanlah akan kami ini (agar selamat) kepada Allah.” Rasulullah lalu mengangkat kedua tangannya, seraya berdoa, “Ya Rabbku, turunkanlah hujan di sekeliling kami dan janganlah Engkau turunkan sebagai bencana bagi kami.” Akhirnya beliau tidak mengisyaratkan pada suatu tempat, kecuali menjadi terang (tanpa hujan).” (HR. Al Bukhari).

ii. Tanda-tanda para nabi yang disebut mukjizat, yang dapat disaksikan atau didengar banyak orang merupakan bukti yang jelas tentang wujud Yang Meng-utus para nabi tersebut, yaitu Allah Subhannahu wa Ta'ala , karena hal-hal itu berada di luar kemampuan manusia. Allah melakukan-nya sebagai pemerkuat dan penolong bagi para rasul.

Ketika Allah memerintahkan Nabi Musa Alaihissalam untuk memukul laut dengan tongkatnya, Musa memukulkannya, lalu terbelahlah laut itu menjadi dua belas jalur yang kering, sementara air di antara jalur-jalur itu menjadi seperti gunung-gunung yang bergulung. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman :

“Lalu Kami wahyukan kepada Musa, “Pukullah lautan itu dengan tongkatmu.” Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar.” (Asy Syu’araa 63)

Contoh kedua adalah mukjizat Nabi Isa Alaihissalam ketika menghidupkan orang-orang yang sudah mati; lalu me-ngeluarkannya dari kubur dengan izin Allah.

“…dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah…” (Al Imran: 49).

“…dan (ingatlah) ketika kamu mengeluarkan orang mati dari kuburnya (menjadi hidup) dengan izin-Ku…” (Al Maidah: 110).

Contoh ketiga adalah mukjizat Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam ketika kaum Quraisy meminta tanda atau mukjizat. Beliau mengisyaratkan pada bulan, lalu terbelahlah bulan itu menjadi dua, dan orang-orang dapat menyaksikannya. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman tentang hal ini :

“Telah dekat (datangnya) saat (Kiamat) dan telah terbe-lah pula bulan. Dan jika mereka (orang-orang musyrik) melihat suatu tanda (mukjizat), mereka berpaling dan berkata, “(Ini adalah) sihir yang terus-menerus.” (Al Qomar: 1-2).

Tanda-tanda yang diberikan Allah, untuk memperkuat para rasul-Nya dan sebagai pertolongan atas mereka, menunjukkan dengan pasti akan keberadaan Allah Subhannahu wa Ta'ala

2.Mengimani Rububiyah Allah Ta'ala

Mengimani rububiyah Allah Ta'alamaksudnya meng-imani sepenuhnya bahwa Dialah Rabb satu-satunya, tiada sekutu dan tiada penolong bagi-Nya.
Rabb adalah Dzat yang menciptakan, memiliki serta memerintah. Jadi, tidak ada Pencipta selain Allah, tidak ada pemilik selain Allah, dan tidak ada perintah selain perintah dari-Nya. Allah telah berfirman :

“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanya hak Allah. Mahasuci Allah, Rabb semesta alam.” (Al A’raaf: 54).

“Yang (berbuat) demikian itulah Allah Rabbmu, kepu-nyaan-Nyalah kerajaan. Dan orang-orang yang kamu seru (sembah) selain Allah tidak mempunyai apa-apa walaupun setipis kulit ari.” (Faathir: 13).


Tidak ada makhluk yang mengingkari kerububiyahan Allah Subhannahu wa Ta'ala , kecuali orang yang congkak sedang ia tidak meyakini kebenaran ucapannya, seperti yang dilakukan Fir’aun ketika berkata kepada kaumnya, “Akulah tuhanmu yang paling tinggi.” (An Naazi’aat 24), dan juga ketika berkata, “Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.” (Al Qashash 38)

Namun ia sendiri tidak meyakini kebenaran yang di ucapkannya. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman :

“Dan mereka mengingkarinya karena kezhaliman dan kesombongan.” (An Naml 14)


Nabi Musa berkata kepada Fir’aun, “Sesungguhnya kamu telah mengetahui bahwa tiada yang menurunkan mukjizat-mukjizat itu kecuali Rabb Yang memelihara langit dan bumi sebagai bukti-bukti yang nyata; dan sesungguhnya aku mengira kamu, hai Fir’aun, seorang yang akan binasa.” (Al Israa’: 102).

Oleh karena itu, sebenarnya orang-orang musyrik mengakui rububiyah Allah Subhannahu wa Ta'ala , meskipun mereka menye-kutukan-Nya dalam uluhiyah (penghambaan). Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman :

“Katakanlah, “Kepunyaan siapakah bumi ini, dan semua yang ada padanya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allah.” Katakanlah, “Maka apa-kah kamu tidak ingat?” Katakanlah, “Siapakah Yang Empunya langit yang tujuh dan Yang Empunya ‘Arsy yang besar?” Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allah.” Katakanlah, ‘Apakah kamu tidak bertaqwa?” Katakanlah, “Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas sega-la sesuatu, sedang Dia melindungi, tetapi tidak ada yang dapat dilindungi dari (adzab)-Nya, jika kamu mengetahui?” Mereka akan menjawab, “Kepunyaan Allah.” Katakanlah, “(Kalau demikian), maka dari jalan manakah kamu ditipu?” (Al Mu’minuun: 84-89).


“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka akan menjawab, “Semuanya diciptakan oleh Yang Mahaperkasa lagi Maha Mengetahui.” (Az Zukhruf: 9).


“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan mereka?”, niscaya mereka menja-wab, “Allah.” maka bagaimanakah mereka dapat dipa-lingkan (dari menyembah Allah)?” (Az Zukhruf: 87).


Perintah Allah Subhannahu wa Ta'ala mencakup perintah alam semesta (kauni) dan perintah syara’ (syar’i). Dia adalah pengatur alam, sekaligus sebagai pemutus segala perkara, sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya. Dia juga pemutus peraturan-peraturan ibadah serta hukum-hukum muamalat sesuai dengan tuntutan hikmah-Nya. Oleh karena itu barangsiapa menjadikan seorang pembuat hukum dalam ibadah atau pembuat hukum dalam muamalat selain Allah Subhannahu wa Ta'ala , maka dia berarti telah menyekutukan Allah serta tidak menyempurnakan keimanan terhadapnya.

3.Mengimani Uluhiyah Allah Ta'ala

Artinya, benar-benar mengimani bahwa Dialah ilah yang benar dan satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya.
Al-Ilah artinya “al-ma’luh”, yakni sesuatu yang di-sembah dengan penuh kecintaan serta pengagungan.

Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman :

“Dan Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa; tidak ada Tuhan melainkan Dia. Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” (Al Baqarah: 163).


“Allah menyatakan bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan demikian). Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (Al Imran: 18).

Maka setiap yang dianggap sebagai tuhan selain Allah, disembah-sembah, ketuhanannya adalah batal. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman :

“(Kuasa Allah) yang demikian itu, adalah karena sesung-guhnya Allah, Dialah (Rabb) yang Haq dan sesungguh-nya apa saja yang mereka seru selain Allah, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah, Dialah yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.”(Al Hajj: 62)

Penyebutannya sebagai tuhan tidak memberikan hak uluhiyah kepadannya.
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman tentang Lata, Uzza, dan Manat yang disebut sebagai Tuhan, namun tidak diberi hak uluhiyah:
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman :

“Itu tidak lain hanyalah nama-nama yang kamu dan bapak-bapak kamu mengada-adakannya; Allah tidak menurunkan suatu keterangan pun untuk (menyembah)-Nya…” (An Najm 23)


Firman-Nya tentang nabi Hud yang berseru kepada kaumnya:

“Apakah kamu sekalian hendak berbantah dengan aku tentang nama-nama (berhala) yang kamu dan nenekmu menamakannya, padahal Allah sekali-kali tidak menurun-kan hujjah untuk itu.” (Al-A’raaf: 62).

Allah Subhannahu wa Ta'ala juga berfirman tentang Nabi Yusuf yang berkata kepada dua temannya di penjara, yang artinya:

“Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha-perkasa? Kamu tidak menyembah yang selain Allah, kecuali hanya (menyembah) nama-nama yang kamu dan nenek moyangmu membuat-buatnya. Allah tidak menu-runkan suatu keterangan pun tentang nama-nama itu…” (Yusuf: 40).


Oleh karena itu para rasul Shalallaahu alaihi wasalam berkata kepada kaum-kaumnya:

“Sembahlah Allah oleh kamu sekalian, sekali-kali tidak ada Tuhan selain daripada-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertaqwa (kepada-Nya)?” (Al Mu’minun: 32).

Orang-orang musyrik tetap saja mengingkarinya. Mereka masih saja mengambil tuhan selain Allah Subhannahu wa Ta'ala . Mereka menyembah, meminta bantuan dan pertolongan kepada tuhan-tuhan itu dengan menyekutukan Allah.
Pengambilan tuhan-tuhan yang dilakukan orang-orang musyrik ini telah dibatalkan oleh Allah dengan dua bukti:

a. Tuhan-tuhan yang diambil itu tidak mempunyai keistimewaan uluhiyah sedikit pun, karena mereka adalah makhluk, tidak dapat menciptakan, tidak dapat memberikan kemanfaatan, untuk para penyembahnya tidak dapat menolak bahaya dari neraka, tidak memiliki hidup dan mati, tidak memiliki sedikit pun dari langit dan tidak pula ikut memiliki keseluruhannya. Allah berfirman,

“Mereka mengambil tuhan-tuhan selain daripada-Nya (untuk disembah), yang tuhan-tuhan itu tidak menciptakan apa pun, bahkan mereka sendiri diciptakan dan tidak kuasa untuk (menolak) sesuatu kemudharatan dari dirinya dan tidak (pula untuk mengambil) sesuatu kemanfaatan pun dan (juga) tidak kuasa mematikan, menghidupkan dan tidak (pula) membangkitkan.” (Al Furqan: 3).

“Katakanlah, “Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai tuhan) selain Allah. Mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat zarrah pun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai suatu saham pun dalam (penciptaan) langit dan bumi, dan sekali-kali tidak ada di antara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya. Dan tiadalah berguna syafaat di sisi Allah, melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafaat”.” (Saba’: 22-23).


“Apakah mereka mempersekutukan Allah (dengan) berhala-berhala yang tak dapat menciptakan sesuatu pun? Sedangkan berhala-berhala itu sendiri buatan orang. Dan berhala-berhala itu tidak mampu memberi pertolongan kepada penyembah-penyembahnya dan kepada dirinya sendiri pun berhala-berhala itu tidak dapat memberi pertolongan.” (Al A’raaf: 191-192).


Kalau demikian keadaan tuhan-tuhan itu, maka sungguh sangat tolol dan sangat batil bila menjadikan mereka sebagai ilah dan tempat meminta pertolongan.
b. Sebenarnya orang-orang musyrik mengakui bahwa Allah Subhannahu wa Ta'ala adalah satu-satunya Rabb, Pencipta, yang ditangan-Nya kekuasaan segala sesuatu. Mereka juga mengakui bahwa hanya Dialah yang dapat melindungi dan tidak ada yang dapat melindungi-Nya. Ini mengharuskan pengesaan uluhiyah (penghambaan), seperti mereka mengesakan rububiyah (ketuhanan) Allah.

Allah Ta’ala berfirman:

“Hai manusia, sembahlah Rabbmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertaqwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap. Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezeki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (Al Baqarah: 21-22).

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan mereka?”, niscaya mereka menjawab, “Allah.” Maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (Az Zukhruf: 87).


“Katakanlah, “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab, “Allah.” Maka katakanlah, “Mengapa kamu tidak ber-taqwa (kepada-Nya)?” Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Rabb kamu yang sebenarnya. Tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan. Maka bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)?” (Yunus: 31-32).


4.Mengimani Asma dan Sifat Allah Ta'ala
Iman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhannahu wa Ta'ala yakni menetapkan nama-nama dan sifat-sifat yang sudah ditetapkan Allah untuk diri-Nya dalam kitab suci-Nya atau sunnah Rasul-Nya dengan cara yang sesuai dengan kebesaran-Nya tanpa tahrif (penyelewengan), ta’thil (penghapusan), takyif (menanyakan bagaimana?) dan tamsil (menyerupakan).

Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman :

“Allah mempunyai asmaaul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaaul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Al A’raaf: 180).


“…Allah mempunyai sifat yang Mahatinggi; dan Dialah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.” (An Nahl: 60).


“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy Syuura: 11).

Dalam perkara ini ada dua golongan yang tersesat, yaitu:
1.Golongan Mu’aththilah, yaitu mereka yang mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah atau mengingkari sebagiannya saja. Menurut perkiraan mereka, menetapkan nama-nama dan sifat itu kepada Allah dapat menyebabkan tasybih (penyerupaan), yakni menyerupakan Allah Subhannahu wa Ta'ala dengan makhluk-Nya.
Pendapat ini jelas keliru karena:

a. Sangkaan itu akan mengakibatkan hal-hal yang bathil atau salah, karena Allah Subhannahu wa Ta'ala telah menetapkan untuk diri-Nya nama-nama dan sifat-sifat, serta telah menafikan sesuatu yang serupa dengan-Nya. Andaikata menetapkan nama-nama dan sifat-sifat itu menimbulkan adanya penyerupaan, berarti ada pertentangan dalam kalam Allah serta sebagian firman-Nya akan menyalahi sebagian yang lain.

b. Kecocokan antara dua hal dalam nama dan sifatnya tidak mengharuskan adanya persamaan. Anda melihat ada dua orang yang keduanya manusia, men-dengar, melihat, dan berbicara, tetapi tidak harus sama dalam makna-makna kemanusiaannya, pendengaran-nya, penglihatannya, dan pembicaraannya. Anda juga melihat beberapa binatang yang punya tangan, kaki, dan mata, tetapi kecocokannya itu tidak mengharuskan tangan, kaki dan mata mereka sama. Apabila antara makhluk-makhluk yang cocok dalam nama atau sifatnya saja jelas memiliki perbedaan, maka tentu perbedaan antara Khaliq (Pencipta) dan makhluk (yang diciptakan) akan lebih jelas lagi.

2.Golongan Musyabbihah, yaitu golongan yang menetapkan nama-nama dan sifat-sifat, tetapi menyerupakan Allah Subhannahu wa Ta'ala dengan makhluk-Nya. Mereka mengira hal ini sesuai dengan nash-nash Al Qur’an, karena Allah berbicara dengan hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat dipahaminya. Anggapan ini jelas keliru ditinjau dari beberapa hal, antara lain:

a. Menyerupakan Allah Subhannahu wa Ta'ala dengan makhluk-Nya jelas merupakan sesuatu yang bathil, menurut akal maupun syara’. Padahal tidak mungkin nash-nash kitab suci Al Qur’an atau Sunnah rasul menunjukkan pengertian yang bathil.

b. Allah Ta’ala berbicara dengan hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat dipahami dari segi asal maknanya. Hakikat makna sesuatu yang berhubungan dengan Dzat dan sifat Allah adalah hal yang hanya diketahui oleh Allah saja.
Apabila Allah menetapkan untuk diri-Nya bahwa Dia Maha Mendengar, maka pendengaran itu sudah maklum dari segi maknanya, yaitu kemampuan untuk menangkap suara-suara. Tetapi hakikat hal itu dinisbatkan kepada pendengaran Allah tidak maklum, karena hakikat pendengaran jelas berbeda, walau pada makhluk sekali pun. Jadi perbedaan hakikat itu antara Pencipta dan yang diciptakan jelas lebih jauh berbeda.
Apabila Allah Subhannahu wa Ta'ala memberitahuan tentang diri-Nya bahwa Dia bersemayam di atas Arsy-Nya, maka bersemayam dari segi asal maknanya sudah maklum, tetapi hakikat bersemayamnya Allah itu tidak dapat diketahui. Pada makhluk, hakikat bersemayam diantara mereka berbeda-beda.

Bersemayam diatas kursi yang diam tentu berbeda dengan berseragam di atas tung-gangan yang susah dizinakkan. Bila perbedaan pada makhluq demikian jelasnya, tentu perbedaannya antara pencipta dan makhluk sangat jelas dan nyata.

Buah Iman kepada Allah :
1.Merealisasikan pengesaan Allah Subhannahu wa Ta'ala sehingga tidak menggantungkan harapan kepada selain Allah, tidak takut kepada yang lain, dan tidak menyembah kepada selain-Nya.

2.Menyempurnakan kecintaan terhadap Allah, serta mengagungkan-Nya sesuai dengan nama-nama-Nya yang indah dan sifat-sifat-Nya yang mahatinggi.

3.Merealisasikan ibadah kepada Allah dengan mengerjakan apa yang diperintah serta menjauhi apa yang dilarang-Nya.


IMAN KEPADA MALAIKAT

Posted By Taufik Hidayat On 05.31 0 komentar

Malaikat adalah alam ghaib, makhluk, dan hamba Allah Subhannahu wa Ta'ala . Malaikat sama sekali tidak memiliki keistimewaan rububiyah dan uluhiyah. Allah menciptakannya dari cahaya serta memberikan ketaatan yang sempurna serta kekuatan untuk melaksanakan ketaatan itu.

Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman :

“…dan malaikat yang ada di sisi-Nya, mereka tidak angkuh untuk menyembah-Nya dan tidak (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” (Al Anbiyaa 19-20)

Malaikat berjumlah banyak, dan tidak ada yang dapat menghitungnya, kecuali Allah. Dalam hadits Al Bukhari-Muslim terdapat hadits dari Anas Radhiallaahu anhu tentang kisah mi’raj bahwa Allah telah memperlihatkan Al Baitul Ma’mur di langit kepada Nabi Shalallaahu alaihi wasalam . Di dalamnya terdapat 70.000 malaikat yang setiap hari melakukan shalat. Yang keluar dari tempat itu, tidak kembali lagi.

Iman kepada malaikat mengandung empat unsur :
1.Mengimani wujud mereka.
2.Mengimani mereka yang kita kenali nama-namanya, seperti Jibril, dan juga terhadap nama-nama malaikat yang tidak kita kenal.
3.Mengimani sifat-sifat mereka yang kita kenali, seperti sifat bentuk Jibril, sebagaimana yang pernah dilihat Nabi n yang mempunyai 600 sayap yang menutup ufuk.
Malaikat bisa saja menjelma berwujud seorang lelaki, seperti yang pernah terjadi pada malaikat Jibril tatkala Allah Ta'ala mengutusnya kepada Maryam. Jibril menjelma jadi seorang yang sempurna. Demikian pula ketika Jibril datang kepada Nabi n, sewaktu beliau sedang duduk di tengah-tengah sahabatnya. Jibril datang dengan bentuk seorang lelaki yang berpakaian sangat putih, berambut sangat hitam, tidak terlihat tanda-tanda perjalanannya, dan tidak seorang sahabat pun yang mengenalinya. Jibril duduk dekat Nabi n, menyandarkan kedua lututnya ke lutut Nabi dan meletakkan kedua telapak tangannya di atas kedua pahanya. Ia bertanya kepada n tentang Islam, iman, ihsan, hari Kiamat, dan tanda-tandanya. Setelah Nabi menjawab seluruh pertanyaannya, Jibril pergi. Setelah tidak disitu lagi, barulah Nabi Shalallaahu alaihi wasalam menjelaskan kepada para sahabatnya, “Itu adalah Jibril yang datang untuk mengajarkan agama kalian.” (HR. Muslim).
Demikian halnya dengan para malaikat yang diutus kepada Nabi Ibrahim dan Luth. Mereka menjelma dalam bentuk seorang lelaki.

4.Mengimani tugas-tugas yang diperintahkan Allah ke-pada mereka yang sudah kita ketahui, seperti bacaan tasbih, dan menyembah Allah Subhannahu wa Ta'ala siang-malam tanpa merasa lelah.

Di antara mereka ada yang mempunyai tugas-tugas tertentu, misalnya:

1.Malaikat Jibril yang dipercayakan menyampaikan wahyu Allah kepada para nabi dan rasul.
2.Malaikat Mikail yang diserahi tugas menurunkan hujan dan tumbuh-tumbuhan.
3.Malaikat Israfil yang diserahi tugas meniup sangkakala di hari Kiamat dan kebangkitan makhluk.
4.Malaikat maut yang diserahi tugas mencabut nyawa orang.
5.Malik yang diserahi tugas menjaga Neraka.
6.Para malaikat yang diserahi janin dalam rahim. Ketika sudah mencapai empat bulan di dalam kandungan, Allah Subhannahu wa Ta'ala mengutus malaikat untuk meniupkan ruh dan menyuruh untuk menulis rezekinya, ajalnya, amalnya, derita, dan bahagianya.
7.Para malaikat yang diserahi menjaga dan menulis semua perbuatan manusia. Setiap orang dijaga oleh dua malaikat, yang satu pada sisi dari kanan dan yang satunya lagi pada sisi dari kiri.
8.Para malaikat yang diserahi tugas menanyai mayit. Bila mayit sudah dimasukkan ke dalam kuburnya, maka akan datanglah dua malaikat yang bertanya tentang Rabbnya, agamanya, dan nabinya.

Buah Iman kepada Malaikat:


1.Mengetahui keagungan Allah, kekuatan-Nya, dan kekuasaan-Nya. Kebesaran makhluk pada hakikatnya adalah dari keagungan sang Pencipta.
2.Syukur kepada Allah Subhannahu Wa Ta'ala atas perhatian-Nya terhadap manusia sehingga menugasi malaikat untuk memelihara, mencatat amal-amal dan berbagai kemaslaha-tannya yang lain.
3.Cinta kepada para malaikat karena ibadah yang mereka lakukan kepada Allah Subhannahu wa Ta'ala .

Ada orang yang tersesat mengingkari keberadaan malaikat. Mereka mengatakan bahwa malaikat ibarat “kekuatan kebaikan” yang tersimpan pada makhluk-makhluk. Ini berarti pendustaan terhadap Kitabullah, sunnah Rasul-Nya, dan ijma’ (konsensus) umat Islam.

Allah berfirman :

“Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi. Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat.” (Faathir: 1).

“Kalau kamu melihat ketika para malaikat mencabut jiwa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka.” (Al Anfaal: 50).

“…Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zhalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata): “Keluarlah nyawa-mu…” (Al An’am: 93).

“…sehingga apabila telah dihilangkan ketakutan dari hati mereka, mereka berkata, “Apakah yang telah difirmankan oleh Rabbmu?” Mereka menjawab, “(Perkataan) yang benar.” dan Dialah Yang Mahatinggi lagi Maha-besar.” (Saba’: 23).


“…malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu (sambil mengucapkan), “Salamun ‘alaikum bima shabartum (salam sejahtera kepadamu dengan kesabaranmu).” Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (Ar Ra’d: 23-24).

Dari Abu Hurairah Radhiallaahu anhu , Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: إِذَا أَحَبَّ اللهُ الْعَبْدَ نَادَى جِبْرِيْلَ أَنَّ اللهَ يُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحَبَّهُ، فَيُحِبُّهُ جِبْرِيْلُ، فَيُنَادِيْ جِبْرِيْلُ أَهْلَ السَّمَاءِ أَنَّ اللهَ يُحِبُّ فُلاَنًا فَأَحِبُّوْهُ، فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمّاءِ، ثُمَّ يُوْضَعُ لَهُ الْقَبُوْلُ فِي اْلأَرْضِ.“

“Apabila Allah mencintai seorang hamba-Nya, ia memberi tahu Jibril untuk mencintainya, maka Jibril pun mencintainya. Jibril lalu memberi tahu para penghuni langit bahwa Allah mencintai Fulan dan menyuruh mereka juga untuk mencintainya, maka penghuni langit pun mencintainya. Kemudian ia diterima di atas bumi.” (Al Bukhari)


Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda:

وَعَنْهُ أَيْضًا قَالَ: قَالَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ كَانَ عَلَى كُلِّ بَابٍ مِنْ أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ الْمَلاَئِكَةُ يَكْتُبُوْنَ اْلأَوَّلَ فَاْلأَوَّلَ، فَإِذَا جَلَسَ اْلإِمَامُ طَوَّوا الصُّحُفَ وَجَاؤُوْا يَسْتَمِعُوْنَ الذِّكْرَ.

“Di setiap hari Jum’at pada setiap pintu masjid para malaikat mencatat satu demi satu orang yang datang. Bila imam sudah duduk (di atas mimbar) mereka menutup buku-bukunya dan datang untuk mendengarkan dzikir (khutbah).”

Dari nash-nash ini tampak jelas bahwa para malaikat itu benar-benar ada, bukan kekuatan maknawi yang terdapat dalam diri manusia seperti yang disangka orang-orang sesat. Nash-nash tersebut telah disepakati umat Islam.

IMAN KEPADA KITAB ALLAH

Posted By Taufik Hidayat On 05.30 0 komentar

Al-Kutub bentuk jamak dari kata “kitab” yang ber-arti “sesuatu yang ditulis”. Namun yang dimaksud di sini adalah kitab-kitab yang diturunkan Allah kepada para rasul-Nya sebagai rahmat dan hidayah bagi seluruh manusia agar mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat.


Iman kepada kitab-kitab mengandung empat unsur :


1.Mengimani bahwa benar-benar diturunkan dari Allah Subhannahu wa Ta'ala .
2.Mengimani kitab-kitab yang sudah kita kenali namanya, seperti Al Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam , Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa Alaihissalam , Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa Alaihissalam , dan Zabur yang diturunkan kepada Nabi Daud Alaihissalam . Adapun kitab-kitab yang tidak kita ketahui namanya, kita mengimaninya secara global.
3.Membenarkan seluruh beritanya yang benar, seperti berita-berita yang ada di dalam Al Qur’an, dan berita-berita kitab-kitab terdahulu yang belum diganti atau belum diselewengkan.
4.Mengerjakan seluruh hukum yang belum dinasakh (dihapus) serta rela dan pasrah pada hukum itu, baik kita memahami hikmahnya maupun tidak. Seluruh kitab terdahulu telah dinasakh oleh Al Qur’anul Azhim, seperti firman-Nya :

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya), dan sebagai batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu…” (Al Maidah: 48).

Oleh karena itu, tidak dibenarkan mengerjakan hukum apa pun dari hukum kitab-kitab terdahulu, kecuali yang benar dan ditetapkan Al Qur’an.

Buah Iman kepada Kitabullah:
1.Mengetahui perhatian Allah Subhannahu wa Ta'ala terhadap hamba-hamba-Nya sehingga menurunkan kitab yang menjadi hidayah (petunjuk) bagi setiap umat.
2.Mengetahui hikmah Allah dalam syara’ atau hukum-Nya sehingga menetapkan hukum yang sesuai dengan tingkah laku setiap umat, seperti firman-Nya, “…untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang…” (Al Maidah: 48).
3.Mensyukuri nikmat Allah pada hal tersebut.

IMAN KEPADA RASUL

Posted By Taufik Hidayat On 05.29 0 komentar

Ar-Rusul bentuk jamak dari kata “rasul”, yang berarti orang yang diutus untuk menyampaikan sesuatu. Namun yang dimaksud “rasul” di sini adalah orang yang diberi wahyu syara’ untuk disampaikan kepada umat.
Rasul yang pertama adalah Nabiyullah Nuh Alaihissalam , dan yang terakhir adalah Nabiyullah Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam .


Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman :

“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya…” (An Nisaa: 163).

Anas bin Malik dalam hadits syafaat menceri-takan bahwa Nabi n mengatakan, nanti orang-orang akan datang kepada Nabi Adam untuk meminta syafaat, tetapi Nabi Adam meminta maaf kepada mereka seraya berkata, “Datangilah Nuh, rasul pertama yang diutus Allah…” (Al Bukhari).

Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman tentang Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam :

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi.” (Al Ahzab: 40).

Setiap umat tidak pernah sunyi dari nabi yang diutus Allah Ta'ala yang membawa syariat khusus untuk kaumnya atau dengan membawa syariat sebelumnya yang diperbarui. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman :

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut…” (An Nahl: 36).

“Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.” (Fathir: 24).


“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi…” (Al Maaidah: 44).

Para rasul adalah manusia biasa, makhluk Allah yang tidak mempunyai sedikit pun keistimewaan rububiyah dan uluhiyah. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman tentang Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam sebagai pimpinan para rasul dan yang paling tinggi pangkatnya di sisi Allah.

“Katakanlah, “Aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (Al A’raaf 188)

“Katakanlah: “Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak (pula) sesuatu kemanfaatan.
“Katakanlah, “Sesungguhnya aku sekali-kali tidak seorang pun yang dapat melindungiku dari (azab) Allah dan sekali-kali tidak akan memperoleh tempat berlindung daripada-Nya”.” (Al Jin: 21-22)

Para rasul juga memiliki sifat-sifat kemanusiaan, seperti sakit, mati, membutuhkan makan dan minum, dan lain sebagainya. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman tentang Nabi Ibrahim yang menjelaskan sifat Rabbnya,
“dan Rabbku, Yang Dia memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku, dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali)…” (Asy Syu’araa: 79-81).


Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam bersabda :

إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ، فَإِذَا نَسِيْتُ فَذَكِّرُوْنِيْ.

“Aku tidak lain hanyalah manusia seperti kalian. Aku juga lupa seperti kalian. Karenanya, jika aku lupa, ingatkanlah.”

Allah Ta'ala menerangkan bahwa para rasul mempunyai ubudiyah (penghambaan) yang tertinggi kepada-Nya. Untuk memuji mereka, Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman tentang Nabi Nuh Alaihissalam :

“…dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (Al Israa: 3).
Allah Subhannahu wa Ta'ala juga berfirman tentang Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam ,
“Mahasuci Allah yang telah menurunkan Al Furqan (Al Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (Al Furqan 1)


Allah juga berfirman tentang Nabi Ibrahim, Nabi Ishaq,dan Nabi Ya’qub Alaihissalam :

“Dan ingatlah hamba-hamba Kami: Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (Shaad: 45-47).

Allah juga berfirman tentang Nabi Isa bin Maryam Alaihissalam :

“Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya nikmat (kenabian) dan kami jadikan dia sebagai tanda bukti (kekuasaan Allah) untuk Bani Israil.” (Az Zukhruf: 59).

Iman kepada para rasul mengandung empat unsur:

1.Mengimani bahwa risalah mereka benar-benar dari Allah Subhannahu wa Ta'ala . Barangsiapa mengingkari risalah mereka, walaupun hanya seorang, berarti ia telah mengingkari seluruh rasul.

Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman :

“Kaum Nuh telah mendustakan para rasul.” (Asy Syu’araa: 105).


Allah Subhannahu wa Ta'ala menjadikan mereka mendustakan semua rasul, padahal hanya seorang rasul saja yang ada ketika mereka mendustakannya. Oleh karena itu umat Nasrani yang mendustakan dan tidak mau mengikuti nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam , berarti mereka juga telah mendustakan dan tidak mengikuti Nabi Isa Al Masih bin Maryam, karena Nabi Isa sendiri pernah menyampaikan kabar gembira dengan akan datangnya Nabi Muhammad n ke alam semesta ini sebagai rahmat bagi semesta alam. Kata “memberi kabar gembira” ini mengandung makna bahwa Muhammad adalah seorang rasul mereka yang menyebabkan Allah menyelamatkan mereka dari kesesatan dan memberi petunjuk kepada mereka jalan yang lurus.

2.Mengimani para nabi yang sudah kita kenali nama-namanya, misalnya Muhammad, Ibrahim, Musa, Isa dan Nuh Alaihissalam . Kelima nabi rasul itu adalah “Ulul Azmi”. Allah Subhannahu wa Ta'ala telah menyebutkan mereka dalam dua tempat dari Al Qur’an, yakni dalam surat Al Ahzab dan surat Asy Syura :

“Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya…” (Asy Syuura: 13).


Terhadap para rasul yang tidak kenal nama-namanya, juga wajib kita imani secara global.
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman :

“Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu.” (Al Mu’min: 78).


3.Membenarkan berita-berita mereka yang benar.

4.Mengamalkan syariat dari mereka yang diutus kepada kita, yaitu nabi terakhir Muhammad n yang diutus Allah kepada seluruh manusia. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman :

“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An Nisaa: 65).

Buah Iman kepada rasul-rasul :

1.Mengetahui rahmat serta perhatian Allah kepada hamba-hamba-Nya sehingga mengutus para rasul untuk menunjuki mereka pada jalan Allah Subhannahu wa Ta'ala serta menjelaskan bagaimana seharusnya mereka menyembah Allah Ta'ala, karena memang akal manusia tidak mampu mengetahui hal itu dengan sendirinya.

2.Mensyukuri nikmat Allah Subhannahu wa Ta'ala yang amat besar ini.

3.Mencintai para rasul, mengagungkannya, serta memujinya, karena mereka adalah para rasul Allah Subhannahu wa Ta'ala , dan karena mereka hanya menyembah Allah, menyampaikan risalah-Nya, dan menasihati hamba-Nya.
Orang-orang yang menyimpang dari kebenaran mendustakan para rasul dengan menganggap bahwa para rasul Allah bukan manusia. Anggapan yang salah ini dijelaskan Allah Subhannahu wa Ta'ala dalam sebuah firman-Nya :

“Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi manusia untuk beriman tatkala datang petunjuk kepadanya, kecuali perkataan mereka: “Adakah Allah mengutus seorang manusia menjadi rasul?” (Al Israa: 94-95).

Dalam ayat di atas Allah mematahkan anggapan mereka yang keliru. Rasul Allah harus dari golongan manusia, karena ia akan diutus kepada penduduk bumi yang juga manusia. Seandainya penduduk bumi itu malaikat, pasti Allah akan menurunkan malaikat dari langit sebagai rasul.
Di dalam surat Ibrahim Allah Subhannahu wa Ta'ala menceritakan orang-orang yang mendustakan para rasul.

“Mereka (orang-orang yang mendustakan rasul) berkata: “Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami juga. Kamu menghendaki untuk menghalang-halangi kami dari apa yang selalu disembah oleh nenek moyang kami. Karena itu, datangkanlah kepada kami bukti yang nyata.” Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka: “Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya. Dan tidak patut bagi kami mendatangkan suatu bukti kepada kamu melainkan dengan izin Allah.” (Ibrahim 10-11)

IMAN KEPADA HARI AKHIR

Posted By Taufik Hidayat On 05.28 0 komentar

Hari Akhir adalah hari Kiamat, di mana seluruh manusia dibangkitkan pada hari itu untuk dihisab dan dibalas. Hari itu disebut hari Akhir, karena tidak ada hari lagi setelahnya. Pada hari itulah penghuni Surga dan penghuni Neraka masing-masing menetap di tempatnya.
Iman kepada hari Akhir mengandung tiga unsur :
1. Mengimani ba’ts (kebangkitan), yaitu menghidupkan kembali orang-orang yang sudah mati ketika tiupan sangkakala yang kedua kali. Pada waktu itu semua manusia bangkit untuk menghadap Rabb alam semesta dengan tidak beralas kaki, bertelanjang, dan tidak disunat.


Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman :

“Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati. Sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.” (Al Anbiyaa 104)

Kebangkitan adalah kebenaran yang pasti, ditunjukkan oleh Al Kitab, Sunnah dan ijma’ umat Islam. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman :

“Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari Kiamat.” (Al Mu’minun: 15-16)

Nabi Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam juga bersabda :

يُحْشَرُالنَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حُفَّاةً غُرْلاً

“Di hari Kiamat seluruh manusia akan dihimpun dengan keadaan tidak beralas kaki dan tidak disunat." (HR. Bukhari-Muslim)

Umat Islam sepakat akan adanya hari Kebangkitan karena hal itu sesuai dengan hikmah Allah yang me-ngembalikan ciptaan-Nya untuk diberi balasan terhadap segala yang telah diperintahkan-Nya melalui lisan para rasul-Nya. Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman :

“Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (Al Mu’minun: 115).


Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam ,

“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) Al Qur’an
benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali…” (Al Qashash: 85).


2. Mengimani hisab (perhitungan) dan jaza’ (pembalasan) dengan meyakini bahwa seluruh perbuatan manusia akan dihisab dan dibalas. Hal ini dipaparkan dengan jelas di dalam Al Qur’an, Sunnah dan ijma’ (kesepakatan) umat Islam.

Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman,

“Sesungguhnya kepada Kamilah kembali mereka, kemudian sesungguhnya kewajiban Kamilah menghisab mereka.” (Al Ghasyiyah: 25-26).

“Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi balasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan).” (Al An’am: 160).

“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari Kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai Pembuat perhitungan.” (Al Anbiyaa 47)

Dari Ibnu Umar Radhiallaahu anhu diriwayatkan bahwa Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda, yang artinya:

“Allah nanti akan mendekatkan orang mukmin, lalu mele-takkan tutup dan menutupnya. Allah bertanya, “Apakah kamu tahu dosamu itu?” Ia menjawab, “Ya Rabbku.” Ketika ia sudah mengakui dosa-dosanya dan melihat dirinya telah binasa, Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman,

“Aku telah menutupi dosa-dosamu di dunia dan sekarang Aku mengampuninya.” Kemudian diberikan kepada orang mukmin itu buku amal baiknya. Adapun orang-orang kafir dan orang-orang munafik, Allah Subhannahu wa Ta'ala memanggilnya di hadapan orang banyak. Mereka orang-orang yang mendustakan Rabbnya. Ketahui-lah, laknat Allah itu untuk orang-orang yang zhalim.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda :

أَنَّ مَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ عِنْدَهُ عَشْرَ حَسَنَاتٍ إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى أَضْعَافٍ كَثِيْرَةٍ، وَأَنَّ مَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً.

“Sesungguhnya yang berniat melakukan satu kebaikan, lalu mengamalkannya, maka ditulis baginya sepuluh kebaikan, sampai tujuh ratus kali lipat, bahkan sampai beberapa lipat lagi. Barangsiapa berniat melakukan satu kejahatan, lalu mengamalkannya, maka Allah menulisnya satu kejahatan saja.”

Umat Islam telah sepakat tentang adanya hisab dan pembalasan amal karena itu sesuai dengan kebijak-sanaan Allah. Sebagaimana kita ketahui, Allah Subhannahu wa Ta'ala telah menurunkan kitab-kitab, mengutus para rasul serta mewajibkan kepada manusia untuk menerima ajaran yang dibawa oleh rasul-rasul Allah itu dan mengerjakan segala yang diwajibkannya. Dan Allah telah mewajibkan agar berperang melawan orang-orang yang menentang-Nya serta menghalalkan darah, keturunan, isteri dan harta benda mereka. Kalau tidak ada hisab dan balasan tentu hal ini hanya sia-sia belaka, dan Rabb Yang Maha-bijaksana, Mahasuci darinya. Allah Subhannahu wa Ta'ala telah mengisyaratkan hal itu dalam firman-Nya,

“Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami), maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat), sedang (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka).” (Al A’raaf 6-7)


3.Mengimani Surga dan Neraka sebagai tempat manusia yang abadi. Surga tempat kenikmatan yang disediakan Allah untuk orang-orang mukmin yang ber-taqwa, yang mengimani apa-apa yang harus diimani, yang taat kepada Allah dan rasul-Nya, dan kepada orang-orang yang ikhlas.
Di dalam Surga terdapat berbagai kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, serta tidak terlintas dalam benak manusia.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya.” (Al Bayyinah: 7-8).
“Tidak seorang pun mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyenangkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (As Sajdah: 17).
Neraka adalah tempat adzab yang disediakan oleh Allah Ta'ala untuk orang-orang kafir, yang berbuat zhalim, serta bagi yang mengingkari Allah dan Rasul-Nya. Di dalam Neraka terdapat berbagai adzab dan sesuatu yang menakutkan, yang tidak pernah terlintas dalam hati.

“Dan peliharalah dirimu dari api Neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (Al Imran: 131).

“…Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang yang zhalim itu Neraka yang gejolaknya mengepung mereka. Jika mereka meminta minum, maka mereka akan diberi minuman dengan air seperti besi yang mendidih yang dapat menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (Al Kahfi: 29).


“Sesungguhnya Allah melaknati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (Neraka). Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Mereka tidak memperoleh seorang pelindung pun dan tidak (pula) seorang penolong. Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam Neraka, mereka berkata, “Alangkah baiknya, andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul.” (Al Ahzab: 64-66).

Iman kepada hari Akhir adalah termasuk mengimani peristiwa-peristiwa yang akan terjadi sesudah kematian, misalnya :
a.Fitnah kubur, yaitu pertanyaan yang diajukan kepada mayat ketika sudah dikubur tentang Rabbnya, agamanya, dan nabinya. Allah akan meneguhkan orang-orang yang beriman dengan kata-kata yang mantap. Ia akan menjawab pertanyaan itu dengan tegas dan penuh keyakinan, “Allah Rabbku, Islam agamaku, dan Muhammad Shalallaahu alaihi wasalam nabiku. Allah menyesatkan orang-orang yang zhalim dan kafir. Mereka akan menjawab pertanyaan dengan terbengong-bengong karena pertanyaan itu terasa asing baginya. Mereka akan menjawab, “Hah… hah… tidak tahu.” Sedangkan orang-orang munafik akan menjawab dengan kebingungan, “Aku tidak tahu. Dulu aku pernah mendengar orang-orang mengata-kan sesuatu, lalu aku mengatakannya.”

b.Siksa dan nikmat kubur, Siksa kubur diperuntukkan bagi orang-orang zhalim, yakni orang-orang munafik dan orang-orang kafir, seperti dalam firman-Nya :

“Alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang zhalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakratul maut, sedang para malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata), “Keluarkanlah nyawamu.” Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.” (Al An’aam 93)

Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman tentang kelurga Fir’aun :

“Kepada mereka dinampakkan Neraka pada pagi hari dan petang, dan pada hari terjadinya Kiamat. (Dikatakan kepada malaikat), “Masukkanlah Fir’aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras.” (Al Mu’min: 46).

Dalam Shahih Muslim Zaid bin Tsabit meriwayatkan bahwa Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda :

“Kalau tidak karena kalian saling mengubur (orang yang mati), pasti aku memohon kepada Allah agar memperdengarkan siksa kubur kepada kalian yang saya mendengarnya.” Kemudian Nabi Shalallaahu alaihi wasalam menghadapkan wajahnya seraya berkata: “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari siksa Neraka.” Para sahabat berkata, “Kami memohon perlindungan kepada Allah dari siksa Neraka.” Nabi Shalallaahu alaihi wasalam kemudian berkata lagi, “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari siksa kubur.” Para sahabat berkata, “Kami memohon perlindungan Allah dari siksa kubur. Lalu beliau berkata lagi, “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari berbagai fitnah baik yang tampak maupun yang tidak tampak.” Para sahabat lalu berkata, “Kami memohon perlindungan kepada Allah dari berbagai fitnah baik yang tampak maupun yang tidak tampak.” Nabi Shalallaahu alaihi wasalam berkata lagi, “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari fitnah dajjal.” Para sahabat berkata, “Kami mohon perlindungan kepada Allah dari fitnah dajjal.” (HR. Muslim)

Adapun nikmat kubur diperuntukkan bagi orang-orang mukmin yang jujur. Hal ini dijelaskan Allah Subhannahu wa Ta'ala dalam firman-Nya :

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Rabb kami ialah Allah,” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan), “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan (memperoleh) Surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.” (Fushshilat: 30).


“Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat, maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah)? Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?, adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh ketentraman dan rezeki serta Surga kenikmatan.” (Al Waaqi’ah: 83-89)
.

Dari Al Barra’ bin Azib Radhiallaahu anhu dikatakan bahwa Nabi Shalallaahu alaihi wasalam bersabda tentang orang mukmin jika dapat menjawab pertanyaan dua malaikat di dalam kuburnya. Sabdanya, “Ada suara dari langit, “Hamba-Ku memang benar. Oleh karenanya, berilah dia alas dari Surga.” Lalu datanglah kenikmatan dan keharuman dari Surga, dan kuburnya dilapangkan sejauh pandangan mata…” (HR. Ahmad, Abu Daud, dalam hadits yang panjang).

Buah Iman kepada hari Akhir:
1.Mencintai ketaatan dengan mengharap balasan pahala pada hari itu.
2.Membenci perbuatan maksiat dengan rasa takut akan siksa pada hari itu.
3.Menghibur orang mukmin tentang apa yang didapat-kan di dunia dengan mengharap kenikmatan serta pahala di akhirat.

Orang-orang kafir mengingkari adanya kebangkitan setelah mati dengan menyangka bahwa hari Akhir dengan segala peristiwa-peristiwanya adalah suatu hal yang mustahil. Persangkaan mereka jelas sangat keliru dan kesalahannya itu dapat dibuktikan dengan syara’, indera, dan akal.

1.Bukti syara’
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman :

“Orang-orang yang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah: “Tidak demikian, demi Rabbku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (At Taghaabun 7)

Semua kitab-kitab suci samawi telah sepakat tentang adanya hari kebangkitan.

2.Bukti inderawi
Allah Ta'ala telah memperlihatkan bagaimana Dia meng-hidupkan orang-orang yang sudah mati di dunia ini. Dalam surat Al Baqarah terdapat lima contoh mengenai hal ini.
a.Ketika kaum Musa berkata kepada nabinya Musa Alaihissalam bahwa mereka tidak akan percaya dengan risalah yang dibawa Musa Alaihissalam , sampai mereka melihat Allah dengan mata kepala mereka sendiri. Oleh karena itulah Allah berfirman (yang ditujukan kepada bani Israil),

“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang”, karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya. Setelah itu Kami bangkitkan kamu sesudah kamu mati, supaya kamu bersyukur.” (Al Baqarah 55-56)

b.Cerita orang yang terbunuh yang pembunuhnya dipersengketakan bani Israil. Allah Subhannahu wa Ta'ala lalu memerintahkan mereka untuk menyembelih sapi, kemudian daging sapi itu dipukulkan ke tubuh orang yang terbunuh itu agar dapat menceritakan siapa sebenarnya yang telah membunuhnya. Hal ini diungkapkan dalam firman-Nya :

“Dan (ingatlah), ketika kamu membunuh seorang manusia, lalu kamu saling tuduh-menuduh tentang itu. Dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama ini kamu sembunyikan. Lalu Kami berfirman, “Pukullah mayat itu dengan sebahagian anggota sapi betina itu!” Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan kepada-mu tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kamu mengerti.” (Al Baqarah: 72-73).


c.Kisah kaum yang keluar dari negerinya karena meng-hindari kematian. Mereka berjumlah ribuan orang. Allah mematikan mereka, lalu menghidupkan kembali. Ini digambarkan dalam firman-Nya :

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati, maka Allah berfirman kepada mereka: “Matilah kamu, kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguh-nya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.” (Al Baqarah: 243).


d.Kisah orang yang melewati sebuah desa yang hancur. Dia sangsi, bagaimana Allah bisa menghidupkan desa itu kembali. Maka Allah mematikannya selama seratus tahun, dan kemudian Allah menghidupkannya kembali. Ini dikisahkan dalam firman-Nya :

“Atau apakah (kamu memperhatikan) orang yang melewati suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata, “Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?” Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya, “Berapa lama kamu tinggal di sini?” Ia menjawab, “Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari.”


Allah berfirman :
“Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya. Lihatlah makanan dan minum-anmu yang belum lagi berubah, dan lihatlah keledai-mu (yang telah menjadi tulang-belulang). Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia. Lihatlah tulang-belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.” Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) dia pun berkata, “Saya yakin Allah Maha-kuasa atas segala sesuatu.” (Al Baqarah: 259).

e.Kisah Nabiyullah Ibrahim Al Khalil ketika bertanya kepada Allah bagaimana Dia menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati. Allah memerintahkannya untuk menyembelih empat ekor burung dan memisah-misahkan bagian-bagian tubuh burung itu di atas gunung-gunung yang ada di sekelilingnya. Ibrahim memanggil burung itu, lalu tak lama tampaklah olehnya bagian-bagian tubuh burung itu menyatu dan segera mendatangi Nabi Ibrahim kembali. Ini dikisah-kan Allah dalam Al Qur’anul Karim,
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.” Allah berfirman: “Apakah kamu belum percaya?” Ibrahim menjawab: “Saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya.” Allah berfirman : “(Kalau demikian), ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu, lalu letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu. Sesudah itu panggillah mereka, niscaya mereka akan datang kepada kamu dengan segera.” Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al Baqarah: 260).

Inilah contoh-contoh bukti inderawi yang menunjuk-kan mungkinnya Allah menghidupkan orang-orang yang sudah mati. Telah diisyaratkan di atas, Allah menjadikan tanda-tanda Isa bin Maryam yang menghidupkan orang-orang yang sudah mati serta mengeluarkannya dari kubur dengan izin Allah Subhannahu wa Ta'ala .

3.Bukti akal (logika)
Bukti akal dapat dibagi menjadi dua bagian :

Allah Subhannahu wa Ta'ala sebagai pencipta langit dan bumi seisinya telah menciptakannya pertama kali. Allah mampu menciptakan pertama kali, tentu pasti mampu pula untuk mengembalikannya.
Firman-Nya :

“Dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permu-laan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkannya kembali itu adalah lebih mudah bagi-Nya…” (Ar Ruum: 27).

“Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan perta-ma, begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati. Sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.” (Al Anbiyaa: 104).


“Katakanlah, “Ia akan dihidupkan oleh Rabb yang menciptakannya kali pertama. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk.” (Yaasin: 79).


a.Bumi yang mati dan tandus akan hidup kembali dan tumbuhan yang mati akan bergerak subur setelah turun hujan. Yang mampu untuk menghidupkannya setelah mati, dan yang mampu menghidupkan orang-orang yang sudah mati itu sudah pasti Allah Ta’ala Mahaperkasa lagi Maha Berkehendak.
Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman :

“Dan sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan yang menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Fushshilat: 39).


“Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-bijian tanaman yang diketam, dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun untuk menjadi rezeki bagi hamba-hamba (Kami), dan Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). Seperti itulah terjadinya kebangkitan.” (Qaaf: 9-11).


Orang yang ingkar kepada siksa kubur dan kenik-matannya mengira hal itu suatu perkara yang mustahil serta bertolak belakang dengan kenyataan karena apabila kubur itu dibongkar, akan didapati seperti semula, tidak bertambah luas dan tidak pula bertambah sempit. Persangkaan mereka ini jelas tidak benar menurut syara’, indera, dan akal.

1.Dalil Syara’
Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu berkata, “Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam pernah keluar dari salah satu kebun kota Madinah. Lalu beliau mendengar ada dua orang yang disiksa di dalam kuburnya.” Dalam hadits itu disebutkan bahwa yang satu karena tidak memelihara buang air kecil (kencing sembarangan), dan yang satunya lagi karena mengadu domba.” (Al Bukhari).

2.Dalil Inderawi
Orang yang tidur terkadang mimpi bahwa ia berada di tempat yang luas, menggembirakan, dan dia bersenang-senang di situ. Atau terkadang dia juga mimpi berada di tempat yang sempit, menyedihkan, dan menyakitkan. Terkadang seseorang bisa terbangun karena mimpinya itu, padahal ia berada di atas tempat tidurnya. Tidur adalah sandar kematian. Oleh karena itu Allah menyebut tidur dengan “wafat”, seperti dalam firman-Nya :

“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan…” (Az Zumar: 42).

3.Dalil akal
Orang yang tidur terkadang bermimpi yang benar sesuai dengan kenyataan. Bisa jadi melihat Nabi n sesuai dengan sifat beliau. Barangsiapa pernah bermimpi melihat beliau sesuai dengan sifatnya, maka dia bagaikan melihatnya benar-benar. Padahal pada waktu itu ia ada di dalam kamarnya, di atas tempat tidurnya, jauh dari yang diimpikan. Apabila keadaan tersebut suatu hal yang mungkin dijumpai di dunia, maka bagaimana tidak mungkin dijumpai di akhirat?!

Adapun dalih mereka bahwa apabila kubur itu digali, akan didapati seperti semula, tidak bertambah luas dan tidak pula bertambah sempit maka jawabannya :

1.Apa yang dibawa syara’ tidak boleh dipertentangkan dengan hal-hal yang bathil. Kalau orang yang mem-pertentangkan itu mau berpikir tentang apa yang dibawa oleh syara’, ia pasti mengetahui kebatilan kesalah-pahamannya itu.
Seorang penyair bertutur :
"Berapa banyak orang yang mencela pendapat yang benar padahal bencana itu dari pemahaman yang salah."

2.Keadaan dalam barzakh (alam kubur) termasuk hal-hal ghaib yang tidak dapat dijangkau oleh indera, karena jika hal itu dapat diindera, maka tidak ada artinya iman kepada yang ghaib, dan sama antara orang yang beriman kepada yang ghaib dan orang yang mengingkari, dalam mempercayainya.

3.Siksa kubur, nikmat kubur, luasnya kubur, dan sem-pitnya kubur hanya dapat dijumpai oleh mayat itu sendiri, bukan yang lain. Ini seperti yang dilihat orang tidur dalam mimpinya, dia bisa berada di tempat yang sempit yang menakutkan, atau di tempat yang luas dan menyenangkan, padahal menurut orang lain yang melihatnya tidur, tidurnya tidak berubah, masih di dalam kamar dan di atas tempat tidurnya.
Ketika menerima wahyu, Nabi Muhammad n berada di tengah-tengah para sahabatnya. Beliau mendengarkan wahyu, tetapi para sahabatnya tidak mendengarnya. Bisa jadi wahyu itu diturunkan dengan cara malaikat menjelma menjadi seorang lelaki, lalu berbicara dengan beliau, dan para sahabat tidak melihatnya serta mendengarnya.

4.Pengetahuan manusia terbatas pada sesuatu yang hanya diizinkan Allah untuk diketahuinya. Tidak mungkin manusia dapat mengetahui apa saja yang ada. Langit yang tujuh serta bumi seisinya semua bertasbih dengan memuji Allah dengan tasbih yang sebenarnya, yang terkadang Allah perdengarkan kepada orang yang dikehendaki-Nya. Meskipun demi-kian hal itu terhalang dari kita.

Dalam masalah ini Allah berfirman :

“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (Al Israa: 44).

Demikian halnya dengan setan dan jin yang mondar-mandir pulang-pergi di atas bumi. Pernah ada jin datang kepada Nabi Shalallaahu alaihi wasalam dan mendengarkan bacaan beliau, kemudian dia kembali ke kaumnya sebagai juru da’i. Meski demikian, mereka tidak terlihat oleh kita.

Dalam masalah ini Allah Subhannahu wa Ta'ala berfirman :

“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu-bapak kamu dari Surga. Ia meninggalkan dari kedua-nya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya auratnya. Sungguh, ia dan pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (Al A’raaf: 27).

Apabila manusia tidak dapat mengetahui segala yang ada, maka mereka tidak boleh mengingkari perkara-perkara gaib yang ditetapkan oleh syara’ sekalipun mereka tidak dapat mengetahuinya dengan indera mereka.

IMAN KEPADA QADHA DAN QADAR

Posted By Taufik Hidayat On 05.26 0 komentar

Apa pun yang terjadi di dunia dan yang menimpa diri manusia pasti telah digariskan oleh Allah Yang Mahakuasa dan Yang Mahabijaksana. Semua telah tercatat secara rapi dalam sebuah Kitab pada zaman azali. Kematian, kelahiran, rizki, nasib, jodoh, bahagia, dan celaka telah ditetapkan sesuai ketentuan-ketentuan ilahiah yang tidak pernah diketahui oleh manusia. Dengan tidak adanya pengetahuan manusia tentang ketetapan dan ketentuan Allah ini, maka ia memiliki peluang atau kesempatan untuk berlomba-lomba menjadi hamba yang saleh-muslih, berusaha keras untuk mencapai yang dicita-citakan tanpa berpangku tangan menunggu takdir, dan berupaya memperbaiki citra diri.

Dengan bekal keyakinan terhadap takdir yang telah ditentukan oleh Allah swt., seorang mukmin tidak pernah mengenal kata frustrasi dalam kehidupannya, dan tidak berbangga diri dengan apa-apa yang telah diberikan Allah swt. Ia akan berubah menjadi batu karang yang tegar menghadapi segala gelombang kehidupan dan senantiasa sabar dalam menyongsong badai ujian yang silih berganti. Ia juga selalu bersyukur apabila kenikmatan demi kenikmatan berada dalam genggamannya. Perhatikan beberapa ayat Allah dan hadits Rasul berikut ini.

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [QS. Al-Hadiid (57): 22-23]

“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” [QS. Al-An’aam (6): 59]

“Tiada seorangpun dari kalian kecuali telah ditulis tempatnya di neraka atau di surga.” Salah seorang dari mereka berkata, “Bolehkah kami bertawakal saja, ya, Rasulullah?” Beliau menjawab, “Tidak, (akan tetapi) beramallah…karena setiap orang dimudahkan (dalam beramal).” Kemudian beliau membaca ayat ini, “Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah), bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil, merasa dirinya cukup dan mendustakan pahala yang terbaik, maka Kami kelak akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar [QS. Al-Lail (92): 5-10].” (HR Bukhari dan Muslim, dari Ali bin Abi Thalib)


“Sangat mengherankan seorang mukmin itu, karena semua urusannya mengandung kebaikan. Dan yang demikian itu tidak pernah dimiliki seseorang kecuali orang mukmin; apabila ia diuji dengan kenikmatan (kebahagiaan), ia bersyukur. Maka, inilah kebaikan baginya. Dan apabila ia diuji dengan kemelaratan (kepayahan), ia bersabar. Maka, inilah kebaikan baginya.” (HR Muslim dari Abu Yahya Shuhaib bin Shinan)

Definisi Qadha dan Qadar

Secara etimologi, qadha memiliki banyak pengertian, diantaranya sebagaimana berikut :

1.Pemutusan, kita bisa temukan pengertian ini pada firman Allah, “(Dia) yang mengadakan langit dan bumi dengan indahnya, dan memutuskan sesuatu perkara, hanya Dia mengatakan: Jdilah, lalu jadi.” [QS. Al-Baqarah (2): 117]

2.Perintah, kita bisa temukan pengertian ini pada firman Allah, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” [QS. Al-Israa` (17): 23]

3.Pemberitaan, bisa kita temukan dalam ayat, “Dan telah Kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu bahwa mereka akan ditumpas habis di waktu subuh.” [QS. Al-Hijr (15): 66]

Imam az-Zuhri berkata, “Qadha secara etimologi memiliki arti yang banyak. Dan semua pengertian yang berkaitan dengan qadha kembali kepada makna kesempurnaan….” (An-Nihayat fii Ghariib al-Hadits, Ibnu Al-Atsir 4/78)

Adapun qadar secara etimologi berasal dari kata qaddara, yuqaddiru, taqdiiran yang berarti penentuan. Pengertian ini bisa kita lihat dalam ayat Allah berikut ini. “Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.” [QS. Fushshilat (41): 10]

Dari sudut terminologi, qadha adalah pengetahuan yang lampau, yang telah ditetapkan oleh Allah pada zaman azali. Adapun qadar adalah terjadinya suatu ciptaan yang sesuai dengan penetapan (qadha).

Ibnu Hajar berkata, “Para ulama berpendapat bahwa qadha adalah hukum kulli (universal) ijmali (secara global) pada zaman azali, sedangkan qadar adalah bagian-bagian kecil dan perincian-perincian hukum tersebut.” (Fathul-Baari 11/477)

Ada juga dari kalangan ulama yang berpendapat sebaliknya, yaitu qadar merupakan hukum kulli ijmali pada zaman azali, sedangkan qadha adalah penciptaan yang terperinci.

Sebenarnya, qadha dan qadar ini merupakan dua masalah yang saling berkaitan, tidak mungkin satu sama lain terpisahkan oleh karena salah satu di antara keduanya merupakan asas atau pondasi dari bangunan yang lain. Maka, barangsiapa yang ingin memisahkan di antara keduanya, ia sungguh merobohkan bangunan tersebut (An-Nihayat fii Ghariib al-Hadits, Ibnu Atsir 4/78, Jami’ al-Ushuul 10/104).

Dalil-dalil Qadha dan Qadar

Beriman kepada qadha dan qadar merupakan salah satu rukun iman, yang mana iman seseorang tidaklah sempurna dan sah kecuali beriman kepadanya. Ibnu Abbas pernah berkata, “Qadar adalah nidzam (aturan) tauhid. Barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan beriman kepada qadar, maka tauhidnya sempurna. Dan barangsiapa yang mentauhidkan Allah dan mendustakan qadar, maka dustanya merusakkan tauhidnya” (Majmu’ Fataawa Syeikh Al-Islam, 8/258).

Oleh karena itu, iman kepada qadha dan qadar ini merupakan faridhah dan kewajiban yang harus dilakukan setiap muslim dan mukmin. Hal ini berdasarkan beberapa hadits berikut ini.

Hadits Jibril yang diriwayatkan Umar bin Khaththab r.a., di saat Rasulullah saw. ditanya oleh Jibril tentang iman. Beliau menjawab, “Kamu beriman kepada Allah, Malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, Hari Akhir, dan kamu beriman kepada qadar baik maupun buruk.” (HR. Muslim)


“Sekiranya Allah swt. menyiksa penduduk langit dan bumi, maka Dia sungguh melakukannya tanpa menzalimi mereka. Dan sekiranya Dia mengasihi mereka, maka rahmat-Nya lebih baik daripada amal mereka. Dan sekiranya kamu memiliki emas seperti Gunung Uhud atau semisalnya, lalu kamu infakkan di jalan Allah, maka Dia tidak akan menerimanya sehingga kamu beriman terhadap qadar dan kamu mengetahui bahwa apa yang ditakdirkan menimpamu tidak akan meleset darimu dan apa yang ditakdirkan bukan bagianmu tidak akan mengenaimu, dan sesungguhnya jika kamu mati atas (aqidah) selain ini, maka niscaya kamu masuk neraka.” (HR. Ahmad, dari Zaid bin Tsabit)

Perhatikan beberapa ayat Allah dan hadits Nabi yang berkaitan dengan qadha dan qadar-Nya berikut ini.

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya, yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [QS. Al-Hadiid (57): 22-23]

“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” [QS. Al-Qamar (54): 49]

“(Yaitu di hari) ketika kamu berada di pinggir lembah yang dekat dan mereka berada di pinggir lembah yang jauh, sedangkan kafilah itu berada di bawah kamu. Sekiranya kamu mengadakan persetujuan (untuk menentukan hari pertempuran), pastilah kamu tidak sependapat dalam menentukan hari pertempuran itu, akan tetapi (Allah mempertemukan dua pasukan itu) agar Dia melakukan suatu urusan yang mesti dilaksanakan, yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula). Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [QS. Al-Anfaal (8): 42]

“Tidak ada suatu keberatan pun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku.” [QS. Al-Ahzab (33): 38]


“Yang pertama kali diciptakan Allah Yang Mahaberkah lagi Mahaluhur adalah pena (al-qalam). Kemudian Dia berfirman kepadanya, ‘Tulislah…,’ Ia bertanya, ‘Apa yang saya tulis?’ Dia berfirman, ‘Maka ia pun menulis apa yang ada dan yang bakal ada sampai hari kiamat.” (HR Ahmad)

“Tiada seorang pun dari kalian kecuali telah ditulis tempatnya di neraka atau di surga. Salah seorang dari mereka berkata, ‘Bolehkah kami bertawakal saja, ya, Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, (akan tetapi) beramallah…karena setiap orang dimudahkan (dalam beramal),’ kemudian beliau membaca ayat ini, ‘Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah), bertakwa dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil, merasa dirinya cukup dan mendustakan pahala yang terbaik, maka kami kelak akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.’” (HR Bukhari dan Muslim, dari Ali bin Abi Thalib)

“Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.” [QS. Al-Lail (92): 5-10]

Rukun-rukun Iman Kepada Qadha Dan Qadar

Beriman kepada qadha dan qadar berarti mengimani rukun-rukunnya. Rukun-rukun ini ibarat satuan-satuan anak tangga yang harus dinaiki oleh setiap mukmin. Dan tidak akan pernah seorang mukmin mencapai tangga kesempurnaan iman terhadap qadar kecuali harus meniti satuan anak tangga tersebut.

Iman terhadap qadha dan qadar memiliki empat rukun sebagai berikut :

Pertama, Ilmu Allah swt. Beriman kepada qadha dan qadar berarti harus beriman kepda Ilmu Allah yang merupakan deretan sifat-sifat-Nya sejak azali. Dia mengetahui segala sesuatu. Tidak ada makhluk sekecil apa pun di langit dan di bumi ini yang tidak Dia ketahui. Dia mengetahui seluruh makhluk-Nya sebelum mereka diciptakan. Dia juga mengetahui kondisi dan hal-ihwal mereka yang sudah terjadi dan yang akan terjadi di masa yang akan datang oleh karena ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. Dialah Tuhan Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata.

Hal ini bisa kita temukan dalam beberapa ayat quraniah dan hadits nabawiah berikut ini.

“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Mahakuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.” [QS. Ath-Thalaaq (65): 12]

“Dialah Allah Yang tiada Tuhan selain Dia, Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.” [QS. Al-Hasyr (59): 22]


“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz).” [QS. Al-An’aam (6): 59]

“Allah lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan ketika menciptakan mereka.” (HR Muslim)


Kedua, Penulisan Takdir. Di sini mukmin harus beriman bahwa Allah swt. menulis dan mencatat takdir atau ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan kehidupan manusia dan sunnah kauniah yang terjadi di bumi di Lauh Mahfuzh—“buku catatan amal” yang dijaga. Tidak ada suatu apa pun yang terlupakan oleh-Nya. Perhatikan beberapa ayat di bawah ini.

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [QS. Al-Hadiid (57): 22-23]

“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” [QS. Al-Hajj (22): 70]

“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan.” [QS. Al-An’aam (6): 38
]

“Yang pertama kali diciptakan Allah Yang Mahaberkah lagi Mahaluhur adalah pena (al-qalam). Kemudian Dia berfirman kepadanya, ‘Tulislah….” Ia bertanya, ‘Apa yang aku tulis?’ Dia berfirman, maka ia pun menulis apa yang ada dan yang bakal ada sampai hari kiamat.” (HR. Ahmad)

Ketiga,
Masyi`atullah (Kehendak Allah) dan Qudrat (Kekuasaan Allah). Seorang mukmin yang telah mengimani qadha dan qadar harus mengimani masyi`ah (kehendak) Allah dan kekuasaan-Nya yang menyeluruh. Apa pun yang Dia kehendaki pasti terjadi meskipun manusia tidak menginginkannya. Begitu pula sebaliknya, apa pun yang tidak dikehendaki pasti tidak akan terjadi meskipun manusia memohon dan menghendakinya. Hal ini bukan dikarenakan Dia tidak mampu melainkan karena Dia tidak menghendakinya. Allah berfirman :

“Dan tiada sesuatu pun yang dapat melemahkan Allah baik di langit maupun di bumi. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” [QS. Faathir (35): 44]

Adapun dalil-dalil tentang masyi`atullah sangat banyak kita temukan dalam Al-Qur`an, di antaranya sebagai berikut.

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” [QS. At-Takwiir (81): 29]

“Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah pekak, bisu dan berada dalam gelap gulita. Barangsiapa yang dikehendaki Allah (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya berada di atas jalan yang lurus.” [QS. Al-An’aam (6): 39]


“Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, ‘Jadilah!’ maka terjadilah ia.” [QS. Yaasiin (36): 82]

“Siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang baik, maka Dia akan menjadikannya faqih (memahami) agama ini.” (HR. Bukhari)


Simaklah apa jawaban Imam Syafi’i ketika ditanya tentang qadar berikut ini.

“Maka, apa-apa yang Engkau kehendaki pasti terjadi meskipun aku tidak berkehendak
Dan apapun yang aku kehendaki—apabila Engkau tidak berkehendak—tidak akan pernah ada

Engkau menciptakan hamba-hamba ini sesuai yang Engkau ketahui
Maka dalam (bingkai) ilmu ini, lahirlah pemuda dan orang tua renta

Kepada (hamba) ini, Engkau telah memberikan karunia dan kepada yang ini Engkau hinakan
Yang ini Engkau tolong dan yang ini Engkau biarkan (tanpa pertolongan)

Maka, dari mereka ada yang celaka dan sebagian mereka ada yang beruntung
Dari mereka ada yang jahat dan sebagian mereka ada yang baik

Keempat, Penciptaan-Nya. Ketika beriman terhadap qadha dan qadar, seorang mukmin harus mengimani bahwa Allah-lah pencipta segala sesuatu, tidak ada Khaliq selain-Nya dan tidak ada Rabb semesta alam ini selain Dia. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini.

“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” [QS. Az-Zumar (39): 62]

“Yang kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, dan Dia tidak mempunyai anak, dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kekuasaan(Nya), dan dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukuranya dengan serapi-rapinya.” [QS. Al-Furqaan (25): 2]

“Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat Itu.“ [QS. Ash-Shaaffat (37): 96]


“Sesungguhnya, Allah adalah Pencipta semua pekerja dan pekerjaanNya.” (HR. Hakim)


Inilah empat rukun beriman kepada qadha dan qadar yang harus diyakini setiap muslim. Maka, apabila salah satu di antara empat ini diabaikan atau didustakan, niscaya ia tidak akan pernah sampai gerbang keimanan yang sesungguhnya. Sebab, mendustakan satu di antara empat rukun tersebut berarti merusak bangunan iman terhadap qadha dan qadar, dan ketika bangunan iman terhadap qadar rusak, maka juga akan menimbulkan kerusakan pada bangunan tauhid itu sendiri.

Macam-macam Takdir

Takdir ada empat macam. Namun, semuanya kembali kepada takdir yang ditentukan pada zaman azali dan kembali kepada Ilmu Allah yang meliputi segala sesuatu. Keempat macam takdir tersebut adalah sebagai berikut.

Pertama, Takdir Umum (Takdir Azali).
Takdir yang meliputi segala sesuatu dalam lima puluh ribu tahun sebelum diciptakannya langit dan bumi. Di saat Allah swt. memerintahkan Al-Qalam (pena) untuk menuliskan segala sesuatu yang terjadi dan yang belum terjadi sampai hari kiamat. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut ini.

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” [QS. Al-Hadiid (57): 22]

“Allah-lah yang telah menuliskan takdir segala makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum diciptakan langit dan bumi. Beliau bersabda, ‘Dan ‘Arsy-Nya berada di atas air.” (HR. Muslim)


Kedua, Takdir Umuri. Yaitu takdir yang diberlakukan atas manusia pada awal penciptaannya ketika pembentukan air sperma (usia empat bulan) dan bersifat umum. Takdir ini mencakup rizki, ajal, kebahagiaan, dan kesengsaraan. Hal ini didasarkan sabda Rasulullah saw. berikut ini.

“…Kemudian Allah mengutus seorang malaikat yang diperintahkan untuk meniupkan ruhnya dan mencatat empat perkara: rizki, ajal, sengsara, atau bahagia….” (HR. Bukhari)

Ketiga, Takdir Samawi.
Yaitu takdir yang dicatat pada malam Lailatul Qadar setiap tahun. Perhatikan firman Allah berikut ini.

“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” [QS. Ad-Dukhaan (44): 4-5]

Ahli tafsir menyebutkan bahwa pada malam itu dicatat dan ditulis semua yang akan terjadi dalam setahun, mulai dari kebaikan, keburukan, rizki, ajal, dan lain-lain yang berkaitan dengan peristiwa dan kejadian dalam setahun. Hal ini sebelumnya telah dicatat pada Lauh Mahfudz.

Keempat, Takdir Yaumi.
Yaitu takdir yang dikhususkan untuk semua peristiwa yang akan terjadi dalam satu hari; mulai dari penciptaan, rizki, menghidupkan, mematikan, mengampuni dosa, menghilangkan kesusahan, dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan firman Allah, “Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” [QS. Ar-Rahmaan (55): 29]

Ketiga takdir yang terakhir tersebut, kembali kepada takdir azali: takdir yang telah ditentukan dan ditetapkan dalam Lauh Mahfudz.

Berdalih dengan Qadar dalam Kemaksiatan dan Musibah

Semua yang ditakdirkan oleh Allah swt. selalu tersirat hikmah dan maslahat bagi manusia. Hikmah dan maslahat yang telah diketahui oleh-Nya. Maka, Dia tidak pernah menciptakan kejelekan dan keburukan murni yang tidak pernah melahirkan suatu kemaslahatan. Kejelekan dan keburukan ini tidak boleh dinisbatkan kepada Allah swt., melainkan dinisbatkan kepada amal perbuatan manusia. Sesungguhnya, segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Allah mengandung keadilan, hikmah, dan rahmat .

Hal ini berdasarkan firman Allah swt., “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.” [QS. An-Nisaa` (4): 79]

Maksudnya, segala kenikmatan dan kebaikan yang dialami manusia berasal dari Allah SWT, sedangkan keburukan yang menimpanya diakibatkan karena dosa dan kemaksiatannya.

Allah membenci kekufuran dan kemaksiatan yang dilakukan hamba-hamba-Nya. Sebaliknya, Dia mencintai dan meridhai ketakwaan dan kesalehan. Dia juga menunjukkan dua jalan untuk hamba-hamba-Nya, sedangkan manusia diberikan akal untuk memilih salah satu jalan tersebut sesuai pilihan dan kehendaknya. Maka, barangsiapa yang memilih jalan kebaikan ia berhak mendapat ganjaran dan yang memilih jalan keburukan atau kebatilan maka ia berhak mendapat siksa oleh karena hal ini dilakukan secara sadar dan atas pilihannya sendiri tanpa ada unsur paksaan. Meskipun sebab-sebab dan factor-faktor pendorong amal perbuatannya tidak lepas dari kehendak Allah swt.

Maka, tidak ada alasan dan hujjah lagi bagi manusia bahwa setiap kekufuran dan kemaksiantan yang dilakukannya karena takdir Allah swt. Oleh karena itu, Allah mencela orang-orang musyrik yang berdalih dengan masyi-at Allah atas kekufuran mereka seperti dalam firmanNya;

“Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apa pun.’ Demikian pulalah orang-orang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah, ‘Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?” Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanyalah berdusta. Katakanlah, ‘Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat; maka jika Dia menghendaki, pasti Dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya.” [QS. Al-An’aam (6): 148-149]


“Dan berkatalah orang-orang musyrik, ‘Jika Allah menghendaki, niscaya kami tidak akan menyembah sesuatu apa pun selain Dia, baik kami maupun bapak-bapak kami, dan tidak pula kami mengharamkan sesuatu pun tanpa (izin)-Nya.’ Demikianlah yang diperbuat orang-orang sebelum mereka, maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah) dengan terang. Tiap-tiap umat mempunyai rasul yang diutus untuk menerangkan kebenaran.” [QS. An-Nahl (16): 35]

Adapun berhujjah dengan takdir atas musibah yang menimpa manusia dapat dibenarkan Islam. Sebagaimana dialog yang terjadi antara Nabi Adam dan Nabi Musa tentang musibah dikeluarkannya Bani Adam dari surga.

“Adam dan Musa berbantah-bantahan. Musa berkata, ‘Wahai, Adam, Anda adalah bapak kami yang telah mengecewakan dan mengeluarkan kami dari surga. Lalu Adam menjawab, ‘Kamu, wahai Musa yang telah dipilih Allah dengan Kalam-Nya dan menuliskan untkmu dengan Tangan-Nya, apakah kamu mencela kepadamu atas suatu perkara yang mana Allah telah menakdirkan kepadaku sebelum aku diciptakan empat puluh tahun?’ Maka Nabi bersabda, ‘Maka, Adam telah membantah Musa, Adam telah membantah Musa.’” (HR. Muslim)


Buah Iman Kepada Qadar

Muslim yang meyakini akan qadha dan qadar Allah swt. secara benar akan melahirkan buah-buah positif dalam kehidupannya. Ia tidak akan pernah frustrasi atas kegagalan atau harapan-harapan yang lari darinya, dan ia tidak terlalu berbangga diri atas kenikmatan dan karunia yang ada di genggamannya. Sabar dan syukur adalah dua senjata dalam menghadapi setiap permasalahan hidup.

Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar dalam kitab “Al-Qadha wa Al-Qadar” menyimpulkan buah beriman terhadap qadar sebagai berikut.

Pertama, jalan yang membebaskan kesyirikan.
Kedua, tetap istiqamah.

“Sesungguhnya, manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat.” [QS. Al-Ma’arij (70): 19-22]

Ketiga, selalu berhati-hati. “Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.” [QS. Al-A’raaf (7): 99]

Keempat, sabar dalam menghadapi segala problematika kehidupan.